Kebijakan Perpajakan dalam Bidang Pendidikan
Pengertian Pajak yang diungkapkan oleh para ahli hukum :
- Prof. Dr. PJA. Andriani (Pernah menjadi Guru Besar pada Universitas Amsterdam), beliau memberikan definisi mengenai pengertian Pajak sebagai berikut: "Pengertian Pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung bisa ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintahan".
- Pengertian Pajak menurut Prof. Dr. MJH. Smeeths, beliau memberikan definisi mengenai pengertian pajak sebagai berikut : Pengertian Pajak ialah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, yang dimaksud dalam hal ini yaitu membiayai pengeluaran pemerintah.
- Dr. Soeparman Soemahamidjaya memberikan definisi dari pengertian pajak sebagai berikut: Pengertian Pajak adalah iuran wajib, berupa barang atau uang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
- Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro ialah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung bisa ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.
Pada tahun 1974, Prof. Dr. Rochmat Soemitro, dalam disertasinya dengan
judul "Pajak dan pembangunan" mengoreksi definisinya yang
semula dan beliau memberikan definisi sebagai berikut: Pengertian Pajak
adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
undang-undang (dapat dipaksakan) yang langsung dapat ditunjuk dan yang
digunakan untuk membiayai keperluan umum.
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/pengertian-pajak.html
14.31 tgl 15 senin
14.31 tgl 15 senin
1.
Pajak Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 th 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
“Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemamakmuran rakyat”.
a.
Kebijakan
dalam Bidang Pajak
·
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2009
Sebelum
dilakukannya Tax Reform atau
Reformasi Pajak, ada beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia diantaranya
adalah berikut ini :
·
Staatsblad No. 13 Tahun 1908 tentang
Ordinasi Rumah Tangga
·
Staatsblad No. 498 Tahun 1921 tentang
Aturan Bea Materai
·
Staatsblad No. 291 Tahun 1924 tentang
Ordinasi Bea Balik Nama
·
Staatsblad No. 405 Tahun 1932 tentang
Ordinasi Pajak Kekayaan
·
Staatsblad No. 718 Tahun 1934 tentang
Ordinasi Pajak Kendaraan Bermotor
·
Staatsblad No. 611 Tahun 1934 tentang
Ordinasi Pajak Upah
·
Staatsblad No. 17 Tahun 1944 tentang
Ordinasi Pajak Pendapatan
·
Staatsblad No. 12 Tahun 1947 tentang
Pajak Radio
·
Staatsblad No. 144 Tahun 1947 tentang
Pajak Pembangunan 1
·
Dll.
Sejalan
dengan tuntuan perubahan zaman dan kebutuhan yang melatarbelakangi, pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai langkah guna mereformasi sistem perpajakan
di Indonesia. Reformasi sistem perpajakan meliputi dua aspek yaitu :
1. Reformasi
di bidang kebijakan perpajakan (Tax
Policy Reform);
Melalui perubahan UU
PPh, perubahan UU PPN dan PPn Bm, perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai,
serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang
Perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian
hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta
mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
2. Reformasi
sistem administrasi perpajakan (Tax
Administrative Reform);
Meliputi :
a. Penyempurnaan
peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan;
b. Pembentukan
dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large
Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan
fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan
pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate
Governance;
c. Pembangunan
KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat
Jenderal Pajak;
d. Pengembangan
basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online;
e. Perbaikan
manajemen pemeriksaan pajak; serta
f. Peningkatan
efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi
Ombudsman Nasional
(https://www.academia.edu/6765364/REFORMASI_PERPAJAKAN_INDONESIA)
diakses
pada tanggal 18/09/2014 pada jam 22.50
b.
PPN,
PPnBM dan Pajak Penghasilan
i.
PPN
Pajak
Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan
jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara betingkat di setiap jalur produksi
dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh
perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan
objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis
baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan
jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa,
banyak timbul transaksi jasa baru atau modifi kasi dari transaksi sebelumnya
yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat
tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan
pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan
secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000.
(http://www.pajak.go.id/sites/default/files/PersandinganUUPPN.pdf)
diakses pada tanggal 10/09/2014 jam 22.58
·
Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
(PPN)
a.
Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak
objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat
ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali
untuk kasus tertentu.
b.
Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi
Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana
disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas
transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan
melaporkannya.
c.
Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai
dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang
terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena
itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu
dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku
dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan
beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.
d.
Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri.
Oleh karena itu salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah
bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari
pengenaan PPN dengan tarif0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk
kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e.
Merupakan beban konsumen akhir. PPN
merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP.
Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban
PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP
pada rantai terakhir.
f.
Netral terhadap persaingan. PPN bukan
merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan
yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan
PPN yang harus dipungut saat penjualan.
g.
Menganut destination principle.
Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu
harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di
luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak
atas konsumsi dalam negeri.
·
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak
yang dikenakan atas :
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b.
Impor Barang Kena Pajak;
c.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f.
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak.
·
Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai
a.
Barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.
Makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
d.
Uang, emas batangan, dan surat-surat
berharga.
·
Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai
a.
Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b.
Jasa di bidang pelayanan sosial;
c.
Jasa di bidang pengiriman surat dengan
perangko;
d.
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan
sewa guna usaha dengan hak opsi;
e.
Jasa di bidang keagamaan;
f.
Jasa di bidang pendidikan;
g.
Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang
telah dikenakan pajak tontonan;
h.
Jasa di bidang penyiaran yang bukan
bersifat iklan;
i.
Jasa di bidang angkutan umum di darat dan
di air;
j.
Jasa di bidang tenaga kerja;
k.
Jasa di bidang perhotelan;
l.
Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam
rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
ii.
PPnBM
PPnBM merupakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
·
Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :
§ kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat
penerima siaran televisi;
§ kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;
§ kelompok mesin pengatur suhu udara;
§ kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran
radio;
§ kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.
b.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
§ kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang
disebut pada huruf a;
§ kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town
house, dan sejenisnya;
§ kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor
antena, selain yang disebut pada huruf a;
§ kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering,
pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;
§ kelompok wangi-wangian;
c.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah:
§ kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan umum;
§ kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada
huruf a.
d.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah :
§ kelompok minuman yang mengandung alkohol;
§ kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
§ kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool;
§ kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk
meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
§ kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam
mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
§ kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang
disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
§ kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara
lainnya tanpa tenaga penggerak;
§ kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk
keperluan negara;
§ kelompok jenis alas kaki;
§ kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
§ kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau
keramik;
§ Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu
selain batu jalan atau batu tepi jalan.
e.
Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), adalah:
§ kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
§ kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan udara niaga;
§ kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada
huruf a dan huruf c;
§ kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan
negara.
f.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :
§ kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada huruf d;
§ kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu
mulia dan/atau mutiara atau campuran daripadanya;
§ kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan
umum.
g.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :
§ kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan
§ kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
h.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah :
§ kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai
dengan 2500 cc; dan
§ kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk
kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga)
orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder,
dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
i.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
§ kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1500 cc; dan
§ kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
j.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa :
§ kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar
cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
§ kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
3000 cc; dan
§ kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel),
berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari
1500 cc sampai dengan 2500 cc.
k.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan
khusus yang dibuat untuk golf.
l.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
§ kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250
cc sampai dengan 500 cc; dan
§ kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di
gunung, dan kendaraan semacam itu.
m.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :
§ kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak
(4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 3000 cc;
§ kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan
atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;
§ kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari
500 cc;
§ trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
n.
Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah:
§ kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan
jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan
umum;
§ kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan;
§ kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk
kendaraan dinas TNI atau POLRI;
§ kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
iii.
Tarif Pajak PPN dan PPnBM
a.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
(sepuluh persen).
b.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor
Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
c.
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
(lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)
d.
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh
lima persen).
e.
Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
iv.
Dasar Hukum PPN dan PPnBM
a.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000
jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000
tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000
tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001
tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
(http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=ppn)
diakses pada tanggal 18/09/2014 pada jam 23.44
v.
Pajak
Penghasilan
Penghasilan perusahaan yang terkena pajak merupakan hasil
pengurangan penghasilan teradap seluruh biaya yang dikeluarkan perusahaan,
termasuk penyusutan dan biaya bunga. Biasanya untuk penghasilan perusahaan yang
kena pajak akan mengikuti struktur pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Adapun pajak penghasilan pribadi adalah pajak yang dikenakan kepada individu
yang memiliki usaha, baik perusahaan perseorangan, persekutuan, ataupun
pemegang saham.
Pengaruh pajak terhadap perusahaan terutama
yang berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dan perolehan laba perusahaan,
yaitu terhadap:
1. Penyusutan
2. Bunga
3. Dividen
(Kasmir.
2010. Pengantar Manajemen Keuangan. Jakarta: Kencana) Hal. 60
Lingkungan perpajakan mempunyai pengaruh besar
terhadap perusahaan. Pajak penghasilan badan usaha di Indonesia didasarkan
suatu struktur bertingkat.
1. Penghasilan
kena pajak suatu badan usaha adalah pendapatan dikurangi semua biaya yang boleh
dan diakui oleh UU Perpajakan
2. Tingkat
pajak adalah sebesar presentase tertentu dari penghasilan kena pajak yang harus
dibayar dalam bentuk pajak.
3. Tingkat
pajak marjinal adalah tingkat pajak yang dikenakan terhadap tingkat penghasilan
pajak tertentu, misalnya tambahan penghasilan di atas jumlah tertentu.
(Miswanto.
1998. Manajemen Keuangan. Depok: Gunadarma)
Hal. 7
c.
Tata
Cara Perhitungan Pajak Penghasilan
Seperti
yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan
tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara
dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara
penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru
tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang
membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar
uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan
penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan
dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh
Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu :
PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21
untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi
anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana
pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh
pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh
Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2
(dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap
bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau
masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan
contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji
|
3.000.000,00
|
|
Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja
|
15.000,00
|
|
Premi Jaminan
Kematian
|
9.000,00
|
|
Penghasilan bruto
|
3.024.000,00
|
|
Pengurangan
|
||
1. Biaya jabatan
|
||
5%x3.024.000,00
|
151.200,00
|
|
2. Iuran Pensiun
|
50.000,00
|
|
3. Iuran Jaminan
Hari Tua
|
60.000,00
|
|
261.200,00
|
||
Penghasilan neto
sebulan
|
2.762.800,00
|
|
Penghasilan neto
setahun
|
||
12x2.762.800,00
|
33.153.600,00
|
|
PTKP
|
||
- untuk WP sendiri
|
24.300.000,00
|
|
- tambahan WP kawin
|
2.025.000,00
|
|
26.325.000,00
|
||
Penghasilan Kena
Pajak setahun
|
6.828.600,00
|
|
Pembulatan
|
6.828.000,00
|
|
PPh terutang
|
||
5%x6.828.000,00
|
341.400,00
|
|
PPh Pasal 21 bulan
Juli
|
||
341.400,00 : 12
|
28.452,00
|
Catatan:
·
Biaya Jabatan adalah
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
·
Contoh di atas
berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal
pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
(http://www.pajak.go.id/content/article/cara-penghitungan-pph-pasal-21
terbaru diakses pada tanggal 04/10/2014
pada jam 15.2
Soal dan Jawaban PPH pasal 21
Nama : Ria Resti Anggraeni
Status :k-2 (menikah anak
dua)
Gaji sebulan :Rp.4.000.000,-
Transport :Rp.7.000.000,-
Tunjangan Makan :Rp.7.000.000,-
Presentase Premi
Premi jaminan
kecelakaan : 0,50%
Premi jaminan
kematian :0,25%
Premi jaminan
hari tua :2 %
Jawab:
·
Gaji Rp.4.000.000,-
·
Transport Rp. 700.000,-
·
Tunjangan makan Rp. 700.000,-
-----------------+
Rp.5.400.000,-
Pengurangan
·
Premi jaminan kecelakaan = Rp.20.000,-
0,50% x 4.000.000
·
Premi jaminan kematian = Rp.10.000,-
0,25%x4.000.000
·
Premi jaminan hari tua = Rp.80.000,-
2% x 4.000.000
Penghasilan
netto/bulan = Rp.5.400.000,-
Rp.
110.000,-
---------------- -
Rp.5.290.000,-
Penghasilan
netto/tahun = Rp.12x5.290.000,-
= Rp.63.480.000,-
WP = Rp.24.300.000,-
--------------------------
-
PKP Rp. 39.180.000,-
PPh
5% x Rp.
39.180.000 =
Rp.1.950.000,-/tahun
PPH Perbulan =
Rp.1.950.000 : 12
=
Rp.163.250,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar